Minggu, 06 Oktober 2013

Majelis Kehormatan Segera Bahas Nasib Ketua MK


PDF  Print  E-mail
Majelis Kehormatan Segera Bahas Nasib Ketua MK
Petugas KPK membawa tas yang berisi uang suap Ketua MK. Foto: INU
Peran Mahkamah konstitusi (MK) sangat kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Putusan MK fundamental, final, dan mengikat. Oleh karena itu tidak boleh ada kesalahan ataupun penyimpangan dalam pengambilan keputusan.
"Peran MK memang kuat, putusannya final dan mengikat. Dan yang diputus adalah isu yang fundamental," Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan hal ini pada bagian lain keterangan persnya terkait penangkapan Ketua MK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kantor Presiden, Kamis (3/10) siang seperti dikutip www.presidenri.go.id.
Oleh KPK, Akil ditetapkan sebagai tersangka terkait dua sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Penetapan dilakukan KPK setelah penyelidik melakukan gelar perkara dengan pimpinan KPK, Kamis (3/10) jam 11.00 WIB.
Penyampaian penetapan tersangka itu dilakukan oleh Abraham Samad (Ketua KPK) didampingi Wakil Ketua Bambang Widjojanto dan Deputi Penindakan Warih Sadono. Pimpinan KPK mengundang Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam konferensi pers tersebut. “Wakil Ketua MK yang mengutus saya datang ke KPK,” ujar Patrialis.
Abraham mengatakan Akil diduga menerima suap dari Bupati Gunung Mas hingga mencapai Rp3 miliar serta Rp1 miliar dari Tubagus C Wardhana, suami dari Bupati Tangerang Selatan, Banten, Airin Rachmy Diany.
Dia bersama Chairunissa, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ditetapkan sebagai tersangka penerima suap terkait sengketa Pilkada Gunung Mas. “Disangka dengan Pasal 12 huruf c UU No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP atau  Pasal 6 ayat (2) jo Pasal 55 yat (1) kesatu KUHP,” urait Abraham.
Sedangkan Bupati Gunung Mas, Hamid Bintih dan Cornelis Nalau, seorang pengusaha dari Palangkaraya, Kalteng ditetapkan sebagai tersangka pemberi. Keduanya dikenakan Pasal 6 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.
Dalam sengketa Pilkada Lebak, Akil ditetapkan sebagai tersangka dengan seorang advokat bernama Susi Tur Handayani. Keduanya ditetapkan sebagai penerima suap dengan Pasal sangkaan Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP atau Pasal 6 ayat (2) jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.
KPK menyangka Tubagus dan kawan-kawan sebagai tersangka pemberi suap. Dia disangka dengan Pasal 6 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP. Tubagus diketahui sebagai adik kandung dari Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
Bambang Widjojanto menambahkan, sejak awal September sudah ada laporan dari masyarakat akan rencana suap ini. Sehingga tim KPK memantau Akil dan mereka yang akan bertransaksi. Kemudian pada 2 Oktober 2013 tim memantau rumah dinas Akil di Jl Widya Chandra 3, Jakarta Selatan sekira 22.00 WIB sebuah mobil Fortuner warna putih mendatangi rumah itu. Mobil tersebut dikemudikan suami Chairunissa dan langsung disilakan masuk tuan rumah. Tim KPK tak berapa lama masuk ke rumah dan diketahui ada amplop coklat dalam rumah itu dan setelah dibuka berisi uang dalam pecahan dolar AS dan dolar Singapura dengan total Rp3 miliar.
Sedangkan dalam sengketa Pilkada Lebak, Susi yang juga kenalan Akil menerima uang dari Tubagus. Uang diserahkan dari F ke Susi di Apartemen Aston lalu disimpan si pengacara di rumah orang tuanya di kawasan Tebet, Jaksel. Lalu dia berangkat ke Lebak pada Kamis (2/10) siang tanpa disadari diikuti tim KPK lalu menangkapnya di Lebak. Karena tak ditemukan uang, tim mencari ke rumah orang tua Susi dan ditemukan uang ratusan ribu rupiah di dalam travel bag bergaris biru dengan total Rp1 miliar untuk diserahkan pada Akil. Sedangkan Tubagus ditangkap, Rabu (2/10) malam di rumah di Jl Denpasar, Jakarta Selatan.
Patrialis pada kesempatan itu menyatakan, MK menjadi lembaga penegak keadilan dalam proses demokrasi. “Jangan karena perilaku satu orang MK sebagai lembaga hancur. Masyarakat harus tetap mempercayai lembaga MK,” paparnya.
Dia menyatakan MK membentuk majelis kehormatan untuk memberikan sanksi pada Akil. Majelis ini dibentuk untuk menangani pelanggaran etik dan administrasi hakim konstitusi dengan hukuman maksimal pemberhentian. “Mulai bekerja besok, Jumat (4/10),” paparnya.

Menurutnya MK menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. “Tapi, kewenangan pemberhentian hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran adalah ranah majelis kehormatan, bukan proses hukum KPK,” tegasnya. 

Majelis Kehormatan Segera Bahas Nasib Ketua MK (Mahkamah Konstitusi)

Posted at  22.41  |  in    |  Read More»

Majelis Kehormatan Segera Bahas Nasib Ketua MK


PDF  Print  E-mail
Majelis Kehormatan Segera Bahas Nasib Ketua MK
Petugas KPK membawa tas yang berisi uang suap Ketua MK. Foto: INU
Peran Mahkamah konstitusi (MK) sangat kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Putusan MK fundamental, final, dan mengikat. Oleh karena itu tidak boleh ada kesalahan ataupun penyimpangan dalam pengambilan keputusan.
"Peran MK memang kuat, putusannya final dan mengikat. Dan yang diputus adalah isu yang fundamental," Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan hal ini pada bagian lain keterangan persnya terkait penangkapan Ketua MK oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kantor Presiden, Kamis (3/10) siang seperti dikutip www.presidenri.go.id.
Oleh KPK, Akil ditetapkan sebagai tersangka terkait dua sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Kabupaten Lebak, Banten. Penetapan dilakukan KPK setelah penyelidik melakukan gelar perkara dengan pimpinan KPK, Kamis (3/10) jam 11.00 WIB.
Penyampaian penetapan tersangka itu dilakukan oleh Abraham Samad (Ketua KPK) didampingi Wakil Ketua Bambang Widjojanto dan Deputi Penindakan Warih Sadono. Pimpinan KPK mengundang Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam konferensi pers tersebut. “Wakil Ketua MK yang mengutus saya datang ke KPK,” ujar Patrialis.
Abraham mengatakan Akil diduga menerima suap dari Bupati Gunung Mas hingga mencapai Rp3 miliar serta Rp1 miliar dari Tubagus C Wardhana, suami dari Bupati Tangerang Selatan, Banten, Airin Rachmy Diany.
Dia bersama Chairunissa, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ditetapkan sebagai tersangka penerima suap terkait sengketa Pilkada Gunung Mas. “Disangka dengan Pasal 12 huruf c UU No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP atau  Pasal 6 ayat (2) jo Pasal 55 yat (1) kesatu KUHP,” urait Abraham.
Sedangkan Bupati Gunung Mas, Hamid Bintih dan Cornelis Nalau, seorang pengusaha dari Palangkaraya, Kalteng ditetapkan sebagai tersangka pemberi. Keduanya dikenakan Pasal 6 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.
Dalam sengketa Pilkada Lebak, Akil ditetapkan sebagai tersangka dengan seorang advokat bernama Susi Tur Handayani. Keduanya ditetapkan sebagai penerima suap dengan Pasal sangkaan Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP atau Pasal 6 ayat (2) jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.
KPK menyangka Tubagus dan kawan-kawan sebagai tersangka pemberi suap. Dia disangka dengan Pasal 6 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP. Tubagus diketahui sebagai adik kandung dari Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
Bambang Widjojanto menambahkan, sejak awal September sudah ada laporan dari masyarakat akan rencana suap ini. Sehingga tim KPK memantau Akil dan mereka yang akan bertransaksi. Kemudian pada 2 Oktober 2013 tim memantau rumah dinas Akil di Jl Widya Chandra 3, Jakarta Selatan sekira 22.00 WIB sebuah mobil Fortuner warna putih mendatangi rumah itu. Mobil tersebut dikemudikan suami Chairunissa dan langsung disilakan masuk tuan rumah. Tim KPK tak berapa lama masuk ke rumah dan diketahui ada amplop coklat dalam rumah itu dan setelah dibuka berisi uang dalam pecahan dolar AS dan dolar Singapura dengan total Rp3 miliar.
Sedangkan dalam sengketa Pilkada Lebak, Susi yang juga kenalan Akil menerima uang dari Tubagus. Uang diserahkan dari F ke Susi di Apartemen Aston lalu disimpan si pengacara di rumah orang tuanya di kawasan Tebet, Jaksel. Lalu dia berangkat ke Lebak pada Kamis (2/10) siang tanpa disadari diikuti tim KPK lalu menangkapnya di Lebak. Karena tak ditemukan uang, tim mencari ke rumah orang tua Susi dan ditemukan uang ratusan ribu rupiah di dalam travel bag bergaris biru dengan total Rp1 miliar untuk diserahkan pada Akil. Sedangkan Tubagus ditangkap, Rabu (2/10) malam di rumah di Jl Denpasar, Jakarta Selatan.
Patrialis pada kesempatan itu menyatakan, MK menjadi lembaga penegak keadilan dalam proses demokrasi. “Jangan karena perilaku satu orang MK sebagai lembaga hancur. Masyarakat harus tetap mempercayai lembaga MK,” paparnya.
Dia menyatakan MK membentuk majelis kehormatan untuk memberikan sanksi pada Akil. Majelis ini dibentuk untuk menangani pelanggaran etik dan administrasi hakim konstitusi dengan hukuman maksimal pemberhentian. “Mulai bekerja besok, Jumat (4/10),” paparnya.

Menurutnya MK menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. “Tapi, kewenangan pemberhentian hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran adalah ranah majelis kehormatan, bukan proses hukum KPK,” tegasnya. 

0 komentar:



Akuntabilitas Law Enforcement
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menyangkut atau berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum tidak pula dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang harus dikerjakan atau dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.

Jika seseorang ditangkap, barang yang ada dalam kekuasaannya disita karena diduga ada hubungannya dengan kejahatan, proses hukumnya tidak berjalan bahkan tidak pernah tuntas, pelanggaran KUHAP merajalela, adalah merupakan salah satu bukti tidak adanya akuntabilitas law enforcement di negeri ini. Langkah-langkah untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel untuk masa yang akan datang dapat kita kemukakan antara lain :

1). Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ; 2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya ; 3). Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum ( law enforcemen’ ) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan / atau melanggar proses penegakan hukum ( vide : pasal 9 ayat (1 dan 2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 dan 3) Jo. Psl.18 ayat (1 dan 4) UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ;

4) Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi ( Non Advokat ) agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia diharapkan lebih fokus menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu sendiri ;. 5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum atau LBH-LBH dan LSM-LSM atau lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam melakukan “advokasi” agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri ;. 6) Membangun tekad (komitmen) bersama dalam para penegakan hukum (‘law enforcement’) yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;

Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tata-prilaku masyarakat tersebut mendukung tercapainya cita-cita bangsa Indoensia yang merupakan tujuan negara Indonesia, baik itu tujuan negara ke dalam maupun tujuan negara keluar sebagaimana terdapat atau diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI pada alinea ke-IV, yang intinya adalah : 1.Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; 2. Memajukan kesejahteraan umum ; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa ; dan 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ;

Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( ‘rechtsstaat’ ). Rakyat harus diberitahu kriteria/ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu pertanggungjawaban penegakan hukum yang akuntabel. Oleh karena itu dalam membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel perlu ada sosialisasi hukum serta penyuluhan-penyuluhan hukum secara berkelanjutan kepada masyarakat agar penegakan hukum yang akuntabel dapat diwujudkan oleh penegak hukum bersama-sama dengan masyarakat. ( Januari 2005 )
 

Akuntabilitas Law Enforcement

Posted at  22.39  |  in    |  Read More»



Akuntabilitas Law Enforcement
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menyangkut atau berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum tidak pula dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses / tahapan yang saling bergantung yang harus dikerjakan atau dijalankan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan Masyarakat yang menuju pada tegaknya kepastian hukum.

Jika seseorang ditangkap, barang yang ada dalam kekuasaannya disita karena diduga ada hubungannya dengan kejahatan, proses hukumnya tidak berjalan bahkan tidak pernah tuntas, pelanggaran KUHAP merajalela, adalah merupakan salah satu bukti tidak adanya akuntabilitas law enforcement di negeri ini. Langkah-langkah untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel untuk masa yang akan datang dapat kita kemukakan antara lain :

1). Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ; 2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya ; 3). Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum ( law enforcemen’ ) dimana lembaga tersebut nantinya berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan / atau melanggar proses penegakan hukum ( vide : pasal 9 ayat (1 dan 2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , pasal 17 Jo psl. 3 ayat (2 dan 3) Jo. Psl.18 ayat (1 dan 4) UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ;

4) Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi ( Non Advokat ) agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar penegak hukum di Indonesia diharapkan lebih fokus menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu sendiri ;. 5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Disini peran Lembaga Bantuan Hukum atau LBH-LBH dan LSM-LSM atau lembaga yang sejenis sangat diperlukan terutama dalam melakukan “advokasi” agar hukum dan peraturan perundang-undangan dapat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri ;. 6) Membangun tekad (komitmen) bersama dalam para penegakan hukum (‘law enforcement’) yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;

Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tata-prilaku masyarakat tersebut mendukung tercapainya cita-cita bangsa Indoensia yang merupakan tujuan negara Indonesia, baik itu tujuan negara ke dalam maupun tujuan negara keluar sebagaimana terdapat atau diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI pada alinea ke-IV, yang intinya adalah : 1.Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; 2. Memajukan kesejahteraan umum ; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa ; dan 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ;

Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( ‘rechtsstaat’ ). Rakyat harus diberitahu kriteria/ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu pertanggungjawaban penegakan hukum yang akuntabel. Oleh karena itu dalam membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel perlu ada sosialisasi hukum serta penyuluhan-penyuluhan hukum secara berkelanjutan kepada masyarakat agar penegakan hukum yang akuntabel dapat diwujudkan oleh penegak hukum bersama-sama dengan masyarakat. ( Januari 2005 )
 

0 komentar:

KUHAP Tidak Mengenal Putusan "Bebas Tidak Murni"
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Pasal 244 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal 244 KUHAP ini adalah satu-satunya landasan hukum untuk melakukan upaya hukum kasasi di dalam perkara pidana, dan seperti kita ketahui jika disimak di dalam pasal tersebut kata demi kata tidak ada kata-kata yang menerangkan putusan ‘bebas murni’ atau ‘putusan bebas tidak murni’. Bahwa memang semua putusan Pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judexfactie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 244 KUHAP sebagaimana dikutip di atas. Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”. Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni, entah dari mana dan siapa yang melakukan dikotomi per istilah an tersebut. Yang jelas Penuntut Umum beranggapan putusan yang ‘bebas tidak murni’ dapat dilakukan upaya hukum kasasi.

Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.

Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.

Intinya TPP KUHAP ini menegaskan perlunya Yurisprudensi yang dijadikan rujukan atau referensi untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Jadi kalau dipertanyakan apa kriteria TPP KUHAP terhadap kalimat “.. berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.” TPP KUHAP tidak memberikan kriteria yang tegas selain hanya berdasarkan penafsiran sepihak dari Jaksa/Penuntut Umum. Padahal kita sangat tahu betul bahwa TPP KUHAP adalah merupakan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) dan Keputusan Menteri Kehakiman ini derajadnya jauh di bawah Undang-undang, dalam hal ini adalah UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP yang merupakan produk Legislatif dan eksekutif. Sehingga TPP KUHAP yang berkaitan tentang itu isinya bertentangan dengan KUHAP itu sendiri, sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah cacat hukum dan tidak boleh ditoleransi.

Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat lagi dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP tersebut, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang telah menjadi yurisprudensi sejak tahun 2000 bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam TAP MPR RI No. III tahun 2000 telah menetapkan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu : 1) UUD 1945 ; 2) Ketetapan MPR RI ; 3) Undang-undang ; 4).Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) ; 5).Peraturan Pemerintah ; 6) Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur ; dan 7). Peradturan daerah ;.

Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya.

Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan TAP MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi lex inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya )

KUHAP Tidak Mengenal Putusan "Bebas Tidak Murni"

Posted at  22.37  |  in    |  Read More»

KUHAP Tidak Mengenal Putusan "Bebas Tidak Murni"
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.

Pasal 244 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal 244 KUHAP ini adalah satu-satunya landasan hukum untuk melakukan upaya hukum kasasi di dalam perkara pidana, dan seperti kita ketahui jika disimak di dalam pasal tersebut kata demi kata tidak ada kata-kata yang menerangkan putusan ‘bebas murni’ atau ‘putusan bebas tidak murni’. Bahwa memang semua putusan Pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian “Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judexfactie sesungguhnya tidak dapat dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 244 KUHAP sebagaimana dikutip di atas. Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”. Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni, entah dari mana dan siapa yang melakukan dikotomi per istilah an tersebut. Yang jelas Penuntut Umum beranggapan putusan yang ‘bebas tidak murni’ dapat dilakukan upaya hukum kasasi.

Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain : 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.

Sedangkan dalil hukum yang digunakan Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “ Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.

Intinya TPP KUHAP ini menegaskan perlunya Yurisprudensi yang dijadikan rujukan atau referensi untuk mengajukan kasasi terhadap putusan bebas. Jadi kalau dipertanyakan apa kriteria TPP KUHAP terhadap kalimat “.. berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.” TPP KUHAP tidak memberikan kriteria yang tegas selain hanya berdasarkan penafsiran sepihak dari Jaksa/Penuntut Umum. Padahal kita sangat tahu betul bahwa TPP KUHAP adalah merupakan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) dan Keputusan Menteri Kehakiman ini derajadnya jauh di bawah Undang-undang, dalam hal ini adalah UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP yang merupakan produk Legislatif dan eksekutif. Sehingga TPP KUHAP yang berkaitan tentang itu isinya bertentangan dengan KUHAP itu sendiri, sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas adalah cacat hukum dan tidak boleh ditoleransi.

Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat lagi dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP tersebut, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang telah menjadi yurisprudensi sejak tahun 2000 bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam TAP MPR RI No. III tahun 2000 telah menetapkan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai Sumber Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu : 1) UUD 1945 ; 2) Ketetapan MPR RI ; 3) Undang-undang ; 4).Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) ; 5).Peraturan Pemerintah ; 6) Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur ; dan 7). Peradturan daerah ;.

Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya.

Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan TAP MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi lex inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya )

0 komentar:

Korupsi vs Nasionalisme Bangsa
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH

Nasionalisme adalah satu paham atau ajaran yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia dimana bahasa dan budaya menjadi unsur pengikat dalam melakukan interaksi sosial. Unsur pengikat inilah yang melahirkan kesadaran akan nasionalisme komunitas/rakyat Indonesia ketika berhadapan dengan lingkungan luar yang mengganggu.

Dalam sejarah Indonesia khususnya, nasionalisme masih sangat penting akan keberadaannya, Pertama, misalnya, sebagai ideologi pemersatu untuk melawan penjajah Belanda, atau Jepang, atau dalam melawan hegemoni neo-kolonilalisme. Dulu, kalau orang-orang di kepulauan Nusantara ini tersebar terus, tidak ada ideologi yang mempersatukan dan tentu dengan mudah Belanda menguasai kita. Sangat mungkin orang-orang di kepulauan Nusantara justru saling berperang sendiri. Apalagi, ketika politik adu domba Belanda terus menerus memompakan permusuhan dan konflik-konflik. Kedua, sebagai konsekuensinya, ketika orang-orang di kepulauan Nusantara tadi berhasil memerdekakan dirinya, nasionalisme paling tidak sebagai wacana ideologis untuk membangkitkan semangat mengisi kemerdekaan Indonesia. walaupun kadang nasionalisme semacam ini disalahtafsirkan, dengan alasan nasionalisme Indonesia kita menyimpan kecenderungan bermusuhan dengan bangsa lain.

Tapi, sisi positifnya tentu banyak, sebagai bangsa baru yang menemukan dirinya, kita berusaha tetap kompak sehingga banyak konflik yang berpotensi mengancam persatuan Indonesia dapat diatasi atas nama nasionalisme Indonesia. Ketiga, nasionalisme paling tidak dapat dipakai untuk memberikan identitas keindonesiaan, agar Indonesia itu ada di dunia. Akan tetapi, apa yang dicatat dunia dengan nasionalisme Indonesia. Mungkin tidak banyak. Waktu itu, terlepas dari konstruksi orientalisme, orang lebih mengenal Indonesia sebagai bangsa yang cukup ramah, negara terbelakang dan miskin, negara yang memiliki bahasa persatuan Indonesia, yang mengatasi lebih dari 600-an bahasa-bahasa lokal yang hingga hari ini tetap bertahan.

Negara kita Indonesia jauh hari telah mencanangkan berbagai pemahaman Nasionalisme dalam konsep Wawasan Nusantara yang dituangkan dalam satu kesatuan: Ideologi , Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Agama, Pertahanan Keamanan Nasional ). Sebagai konsekuensinya setiap warganegara Indonesia, apalagi ketika ia dicalonkan sebagai pemimpin di dalam struktur kekuasaan yang ada tentu harus memiliki Wawasan Nusantara dimana yang bersangkutan harus punya kewajiban mutlak untuk ikut mempertahankan satu kesatuan wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke yang dituangkan dalam konsep IPOLEKSOSBUDAGHANKAMNAS.

Sekarang ini dari hasil pengamatan para ahli tidak dapat dipungkiri, rasa nasionalisme bangsa kita sangatlah menipis, bahkan terancam punah. Yang muncul adalah Ikatan Primordialisme, yang berkiblat pada ikatan kesukuan, kedaerahan, keagamaan dan/atau antar golongan.

Sejarah membuktikan, selama 30 tahun terakhir Indonesia tercengkeram oleh satu model kekuasaan yang otoritarian, yang biasa disebut rezim Orde Baru. Sebagai akibatnya, banyak masalah ketidaksukaan dan ketidakpuasan bergolak di bawah permukaan. Yang paling menonjol saat itu adalah matinya demokrasi, menjamurkan KKN, tidak adanya hukum yang berkeadilan, dan sebagainya. Akibat kondisi terebut, potensi keretakan berubah menjadi bom waktu. Banyak orang mencoba memobilisasi agama, atau etnisitas, atau bahkan mengusung wacana dunia seperti demokrasi dan keadilan universal untuk melakukan konsolidasi resistensi. Dengan tergesa-gesa dan ceroboh, rezim menyelesaikan resistensi itu dengan kekerasan terbuka atau tersembunyi. Kita tahu, pada waktu itu aparat militer sungguh berkuasa dan menakutkan. Apakah militer melakukan itu dengan memegang semangat nasionalisme Indonesia. Namun, strategi yang paling jitu untuk menangkal resistensi itu pemerintah Orde Baru memanfaatkan nasionalisme untuk mengontrol dan menek potensial yang menghancurkan pemerintahan bahkan negara. Dalam hal ini nasionalisme haruslah dibangun sedemikian rupa yang berkiblat pada bagaimana mempertahankan pluralisme (Bhineka Tunggal Ika) agar kekecewaan-kekecewaan yang terjadi di lokal-lokal dapat dipatahkan.

Nasionalisme Indonesia dikedepankan untuk menahan agar nasionalisme etnis, atau nasionalisme agama, atau nasionalisme geografis tidak berkembang menjadi kekuatan yangal Ika) Negara Indonesia di dalam wawasan nusantara, yang mengakomodir ketergantungan global.

Namun nasionalisme semacam itupun sangat sulit dibangun jika sistem sosial, sistem hukum dan sistem pemerintahan telah terkontaminasi dengan budaya korup yang tidak dapat dicegah. Selama Orde Baru, sistem politik atau struktur kekuasaan telah memungkinkan merajalelanya korupsi besar-besaran di segala bidang.

Korupsi yang “membudaya” ini telah membikin kerusakan-kerusakan parah bahkan sampai kepada budaya prilaku masyarakat lapisan bawah yang memandang korupsi sebagai bagian dari sistem sosial, politik, ekonomi, hukum dan pemerintahan. Sekalipun dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai dari UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 yang dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa “akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghabat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi”. Korupsi tidak hanya sekedar merusak keuangan dan perekonomian negara, akan tetapi merusak seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berdaulat.

Menyambut sumpah pemuda 28 Oktober 2010 ini, kita butuh faham nasionalisme yang baru atau faham Nasionalisme yang ke-II, dimana Nasionalisme yang baru ini benar-benar berkiblat pada :

1). faham Bhineka Tunggal Ika, karena tidak mungkin ada persatuan jika masyarakatnya kita tidak mampu menjadi orang yang berbeda dengan orang lain atau tidak mampu mengatasi perbedaannya ;

2). Terbangunnya sikap bersama bagaimana Korupsi Harus diberantas tuntas karena bertentangan dengan pembangunan nasional disegala bidang ; dan

3). Terbangunnya sikap setiap warganegara Indonesia tentang keharusan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang memahami wawasan nusantara sebagai satu kesatuan yang integral dari : Ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan nasional.

Nasionalisme tidak akan pernah dimiliki oleh seorang Koruptor, karena Koruptor adalah parasit negara yang menyengsarakan kehidupan rakyat dan membangkrutkan negara menjadi hancur. Dari dahulu kita sudah sama tahu bahwa penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi adalah :

1)Adanya unsur "Rangsangan" hal ini berkaitan dengan rendahnya iman dan taqwa yang dimiliki oleh para penyelenggara negara dan pihak lain yang terlibat meguasai keuangan negara ;

2)Adanya unsur "Kesempatan", hal ini berkaitan dengan rendahnya unsur "Pengawasan" dalam managemen pengelolaan keuangan negara ;

Orang tidak mungkin mau korupsi jika ia tidak terangsang dan tidak ada kesempatan untuk itu. Obsesi korupsi tentu disebabkan :

1. Gaya hidup yang senang pamer ;
2. Merasa banyak uang akan dihargai orang ;
3. Untuk membiayai proyek mencari kekuasaan ;
4. Untuk biaya gengsi sosial yang terlanjur tinggi ;
5. Untuk modal usaha sebagai jaminan hari tua ;
6. Terpaksa untuk membiayai kebutuhan pokok yang mendesak, seperti biaya sekolah anak, biaya pengobatan keluarga yang sakit ;
7.Dll.

Masyarakat Indonesia yang menganut ekonomi pasar dan neo liberalisme tidak dapat menghindari terjangkitnya gaya hidup mewah yang memerlukan biaya yang tinggi, sementara pendapatan dan daya belinya yang rendah, maka tidak dapat menghindari dari rangsangan untuk korupsi, apalagi Iman dan Taqwa sebagian besar masyarakat kita sangat diragukan. Sekarang mau diberantas dari mana wahai petinggi2 para elite pemerintah dan elite politik di negeri ini...???!!

Korupsi VS Nasionalisme Bangsa

Posted at  22.36  |  in    |  Read More»

Korupsi vs Nasionalisme Bangsa
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH

Nasionalisme adalah satu paham atau ajaran yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia dimana bahasa dan budaya menjadi unsur pengikat dalam melakukan interaksi sosial. Unsur pengikat inilah yang melahirkan kesadaran akan nasionalisme komunitas/rakyat Indonesia ketika berhadapan dengan lingkungan luar yang mengganggu.

Dalam sejarah Indonesia khususnya, nasionalisme masih sangat penting akan keberadaannya, Pertama, misalnya, sebagai ideologi pemersatu untuk melawan penjajah Belanda, atau Jepang, atau dalam melawan hegemoni neo-kolonilalisme. Dulu, kalau orang-orang di kepulauan Nusantara ini tersebar terus, tidak ada ideologi yang mempersatukan dan tentu dengan mudah Belanda menguasai kita. Sangat mungkin orang-orang di kepulauan Nusantara justru saling berperang sendiri. Apalagi, ketika politik adu domba Belanda terus menerus memompakan permusuhan dan konflik-konflik. Kedua, sebagai konsekuensinya, ketika orang-orang di kepulauan Nusantara tadi berhasil memerdekakan dirinya, nasionalisme paling tidak sebagai wacana ideologis untuk membangkitkan semangat mengisi kemerdekaan Indonesia. walaupun kadang nasionalisme semacam ini disalahtafsirkan, dengan alasan nasionalisme Indonesia kita menyimpan kecenderungan bermusuhan dengan bangsa lain.

Tapi, sisi positifnya tentu banyak, sebagai bangsa baru yang menemukan dirinya, kita berusaha tetap kompak sehingga banyak konflik yang berpotensi mengancam persatuan Indonesia dapat diatasi atas nama nasionalisme Indonesia. Ketiga, nasionalisme paling tidak dapat dipakai untuk memberikan identitas keindonesiaan, agar Indonesia itu ada di dunia. Akan tetapi, apa yang dicatat dunia dengan nasionalisme Indonesia. Mungkin tidak banyak. Waktu itu, terlepas dari konstruksi orientalisme, orang lebih mengenal Indonesia sebagai bangsa yang cukup ramah, negara terbelakang dan miskin, negara yang memiliki bahasa persatuan Indonesia, yang mengatasi lebih dari 600-an bahasa-bahasa lokal yang hingga hari ini tetap bertahan.

Negara kita Indonesia jauh hari telah mencanangkan berbagai pemahaman Nasionalisme dalam konsep Wawasan Nusantara yang dituangkan dalam satu kesatuan: Ideologi , Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Agama, Pertahanan Keamanan Nasional ). Sebagai konsekuensinya setiap warganegara Indonesia, apalagi ketika ia dicalonkan sebagai pemimpin di dalam struktur kekuasaan yang ada tentu harus memiliki Wawasan Nusantara dimana yang bersangkutan harus punya kewajiban mutlak untuk ikut mempertahankan satu kesatuan wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke yang dituangkan dalam konsep IPOLEKSOSBUDAGHANKAMNAS.

Sekarang ini dari hasil pengamatan para ahli tidak dapat dipungkiri, rasa nasionalisme bangsa kita sangatlah menipis, bahkan terancam punah. Yang muncul adalah Ikatan Primordialisme, yang berkiblat pada ikatan kesukuan, kedaerahan, keagamaan dan/atau antar golongan.

Sejarah membuktikan, selama 30 tahun terakhir Indonesia tercengkeram oleh satu model kekuasaan yang otoritarian, yang biasa disebut rezim Orde Baru. Sebagai akibatnya, banyak masalah ketidaksukaan dan ketidakpuasan bergolak di bawah permukaan. Yang paling menonjol saat itu adalah matinya demokrasi, menjamurkan KKN, tidak adanya hukum yang berkeadilan, dan sebagainya. Akibat kondisi terebut, potensi keretakan berubah menjadi bom waktu. Banyak orang mencoba memobilisasi agama, atau etnisitas, atau bahkan mengusung wacana dunia seperti demokrasi dan keadilan universal untuk melakukan konsolidasi resistensi. Dengan tergesa-gesa dan ceroboh, rezim menyelesaikan resistensi itu dengan kekerasan terbuka atau tersembunyi. Kita tahu, pada waktu itu aparat militer sungguh berkuasa dan menakutkan. Apakah militer melakukan itu dengan memegang semangat nasionalisme Indonesia. Namun, strategi yang paling jitu untuk menangkal resistensi itu pemerintah Orde Baru memanfaatkan nasionalisme untuk mengontrol dan menek potensial yang menghancurkan pemerintahan bahkan negara. Dalam hal ini nasionalisme haruslah dibangun sedemikian rupa yang berkiblat pada bagaimana mempertahankan pluralisme (Bhineka Tunggal Ika) agar kekecewaan-kekecewaan yang terjadi di lokal-lokal dapat dipatahkan.

Nasionalisme Indonesia dikedepankan untuk menahan agar nasionalisme etnis, atau nasionalisme agama, atau nasionalisme geografis tidak berkembang menjadi kekuatan yangal Ika) Negara Indonesia di dalam wawasan nusantara, yang mengakomodir ketergantungan global.

Namun nasionalisme semacam itupun sangat sulit dibangun jika sistem sosial, sistem hukum dan sistem pemerintahan telah terkontaminasi dengan budaya korup yang tidak dapat dicegah. Selama Orde Baru, sistem politik atau struktur kekuasaan telah memungkinkan merajalelanya korupsi besar-besaran di segala bidang.

Korupsi yang “membudaya” ini telah membikin kerusakan-kerusakan parah bahkan sampai kepada budaya prilaku masyarakat lapisan bawah yang memandang korupsi sebagai bagian dari sistem sosial, politik, ekonomi, hukum dan pemerintahan. Sekalipun dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai dari UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 yang dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa “akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghabat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi”. Korupsi tidak hanya sekedar merusak keuangan dan perekonomian negara, akan tetapi merusak seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berdaulat.

Menyambut sumpah pemuda 28 Oktober 2010 ini, kita butuh faham nasionalisme yang baru atau faham Nasionalisme yang ke-II, dimana Nasionalisme yang baru ini benar-benar berkiblat pada :

1). faham Bhineka Tunggal Ika, karena tidak mungkin ada persatuan jika masyarakatnya kita tidak mampu menjadi orang yang berbeda dengan orang lain atau tidak mampu mengatasi perbedaannya ;

2). Terbangunnya sikap bersama bagaimana Korupsi Harus diberantas tuntas karena bertentangan dengan pembangunan nasional disegala bidang ; dan

3). Terbangunnya sikap setiap warganegara Indonesia tentang keharusan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang memahami wawasan nusantara sebagai satu kesatuan yang integral dari : Ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan nasional.

Nasionalisme tidak akan pernah dimiliki oleh seorang Koruptor, karena Koruptor adalah parasit negara yang menyengsarakan kehidupan rakyat dan membangkrutkan negara menjadi hancur. Dari dahulu kita sudah sama tahu bahwa penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi adalah :

1)Adanya unsur "Rangsangan" hal ini berkaitan dengan rendahnya iman dan taqwa yang dimiliki oleh para penyelenggara negara dan pihak lain yang terlibat meguasai keuangan negara ;

2)Adanya unsur "Kesempatan", hal ini berkaitan dengan rendahnya unsur "Pengawasan" dalam managemen pengelolaan keuangan negara ;

Orang tidak mungkin mau korupsi jika ia tidak terangsang dan tidak ada kesempatan untuk itu. Obsesi korupsi tentu disebabkan :

1. Gaya hidup yang senang pamer ;
2. Merasa banyak uang akan dihargai orang ;
3. Untuk membiayai proyek mencari kekuasaan ;
4. Untuk biaya gengsi sosial yang terlanjur tinggi ;
5. Untuk modal usaha sebagai jaminan hari tua ;
6. Terpaksa untuk membiayai kebutuhan pokok yang mendesak, seperti biaya sekolah anak, biaya pengobatan keluarga yang sakit ;
7.Dll.

Masyarakat Indonesia yang menganut ekonomi pasar dan neo liberalisme tidak dapat menghindari terjangkitnya gaya hidup mewah yang memerlukan biaya yang tinggi, sementara pendapatan dan daya belinya yang rendah, maka tidak dapat menghindari dari rangsangan untuk korupsi, apalagi Iman dan Taqwa sebagian besar masyarakat kita sangat diragukan. Sekarang mau diberantas dari mana wahai petinggi2 para elite pemerintah dan elite politik di negeri ini...???!!

0 komentar:

Program Subsidi vs Tujuan Negara
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH

Salah satu “tujuan negara Indonesia yang ke dalam (Internal)” terdapat dalam alinea ke-IV pembukaan UUD 1945, yang berbunyi, "..memajukan kesejahteraan umum. Jika dihubungkan dengan ketentuan pasal 33 ayat (2) dan (3) dari UUD 1945 yang meneguhkan penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Indonesia oleh negara jelas merupakan bentuk monopoli negara/pemerintah terhadap kekayaan alam yang ada di Indonesia.

Sehingga atas dasar ini adanya program "SUBSIDI" untuk kebutuhan pokok rakyat jelas merupakan konsekuensi logis atas bentuk monopoli Sumber Daya Alam tersebut oleh negara. Kalau subsidi terhadap kebutuhan pokok rakyat tanpa terkecuali dihapuskan / ditiadakan, maka hal itu merupakan pengkhianatan terhadap tujuan negara kita yaitu “memajukan kesejahteraan umum.”

Ada pertanyaan, apakah rakyat harus diberikan dan bergantung pada subsidi pemerintah?

Terhadap pertanyaan ini tentu rakyat memang tidak boleh ketergantungan pada subsidi pemerintah, tapi terlepas dari idealitas tersebut “subsidi” dari pemerintah apapun alasannya tidak boleh dihapuskan / ditiadakan, karena seperti disinggung di atas adalah merupakan konsekuensi dari hak monopoli negara atas SDA.

Bisa dibayangkan kalau rakyat diberi hak sejak awal kemerdekaan RI untuk diberi wewenang atau menguasai pengelolaan SDA sejak jaman Orde Lama (ORLA), jaman orde baru (ORBA) hingga sekarang ini, tentu rakyat punya waktu yang cukup untuk memanfaatkan kesempatan mengembangkan SDA dalam bidang perekonomian rakyat dan nasibnya tentu tidak akan terpuruk seperti sekarang ini, rakyat yang mengalami kemiskinan yang cenderung miskin absolut.

Tujuan negara yang lain yang juga tercantum dalam aline IV pembukaan UUD 1945 adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa" merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM), sehingga rakyat mampu meningkatkan kesejahteraannya sendiri yang pada gilirannya tidak selalu bergantung pada subsidi yang diberikan oleh pemerintah, walaupun subsidi tersebut harus tetap diberikan, namun rakyat tentu tidak akan keberatan subsidi tersebut diatur ke arah sasaran yang lebih membutuhkan.

Dalam era globalisasi yang menekankan pada kehidupan ekonomi pasar dimana pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi rakyat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, keadaan ini jelas bangsa / rakyat Indonesia belum siap menindaklanjutinya karena di samping SDA Indonesia sebagian besar sudah terlanjur dikuasai oleh para kavitalis ( para investor ) dan sebagian besar cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak juga dikuasai oleh orang asing, sehingga menjadi lebih sulit bagi pemerintah untuk mengembalikan posisi yang ada saat ini kearah seperti yang dimaksud di dalam pasal 33 ayat (2) yang berbunyi, “cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

Dan berkaitan dengan program subsidi terhadap kebutuhan pokok rakyat termasuk BBM yang harus diberikan kepada rakyat selalu akan terganggu, karena pendapatan pemerintah di samping bergantung pada ekonomi pasar yang berkaitan dengan pajak dan macam pajak yang dipungut langsung dari rakyat dan juga berasal dari keuntungan dari perusahaan yang vital yang jumlahnya dapat dikatakan tidak lagi signifikan karena penerimaan negara disektor ini hanya sedikit, dan ini disebabkan perusahaan-perusahaan penting yang ada di Indonesia sebagian besar kepemilikannya adalah milik orang asing atau investor asing.

Kesimpulannya subsidi pemerintah kepada rakyat selalu akan terganggu dan kebijakan pemerintah yang selalu berusaha mengurangi dan menghapuskan subsidi jelas bertentangan dengan tujuan negara ke dalam sebagaimana disebut di dalam alinea ke-IV pada Pembukaan UUD 1945. ( February 2011 )

Program Subsidi VS Tujuan Negara

Posted at  22.35  |  in    |  Read More»

Program Subsidi vs Tujuan Negara
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH

Salah satu “tujuan negara Indonesia yang ke dalam (Internal)” terdapat dalam alinea ke-IV pembukaan UUD 1945, yang berbunyi, "..memajukan kesejahteraan umum. Jika dihubungkan dengan ketentuan pasal 33 ayat (2) dan (3) dari UUD 1945 yang meneguhkan penguasaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Indonesia oleh negara jelas merupakan bentuk monopoli negara/pemerintah terhadap kekayaan alam yang ada di Indonesia.

Sehingga atas dasar ini adanya program "SUBSIDI" untuk kebutuhan pokok rakyat jelas merupakan konsekuensi logis atas bentuk monopoli Sumber Daya Alam tersebut oleh negara. Kalau subsidi terhadap kebutuhan pokok rakyat tanpa terkecuali dihapuskan / ditiadakan, maka hal itu merupakan pengkhianatan terhadap tujuan negara kita yaitu “memajukan kesejahteraan umum.”

Ada pertanyaan, apakah rakyat harus diberikan dan bergantung pada subsidi pemerintah?

Terhadap pertanyaan ini tentu rakyat memang tidak boleh ketergantungan pada subsidi pemerintah, tapi terlepas dari idealitas tersebut “subsidi” dari pemerintah apapun alasannya tidak boleh dihapuskan / ditiadakan, karena seperti disinggung di atas adalah merupakan konsekuensi dari hak monopoli negara atas SDA.

Bisa dibayangkan kalau rakyat diberi hak sejak awal kemerdekaan RI untuk diberi wewenang atau menguasai pengelolaan SDA sejak jaman Orde Lama (ORLA), jaman orde baru (ORBA) hingga sekarang ini, tentu rakyat punya waktu yang cukup untuk memanfaatkan kesempatan mengembangkan SDA dalam bidang perekonomian rakyat dan nasibnya tentu tidak akan terpuruk seperti sekarang ini, rakyat yang mengalami kemiskinan yang cenderung miskin absolut.

Tujuan negara yang lain yang juga tercantum dalam aline IV pembukaan UUD 1945 adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa" merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah dalam peningkatan sumber daya manusia (SDM), sehingga rakyat mampu meningkatkan kesejahteraannya sendiri yang pada gilirannya tidak selalu bergantung pada subsidi yang diberikan oleh pemerintah, walaupun subsidi tersebut harus tetap diberikan, namun rakyat tentu tidak akan keberatan subsidi tersebut diatur ke arah sasaran yang lebih membutuhkan.

Dalam era globalisasi yang menekankan pada kehidupan ekonomi pasar dimana pertumbuhan dan kesejahteraan ekonomi rakyat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, keadaan ini jelas bangsa / rakyat Indonesia belum siap menindaklanjutinya karena di samping SDA Indonesia sebagian besar sudah terlanjur dikuasai oleh para kavitalis ( para investor ) dan sebagian besar cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak juga dikuasai oleh orang asing, sehingga menjadi lebih sulit bagi pemerintah untuk mengembalikan posisi yang ada saat ini kearah seperti yang dimaksud di dalam pasal 33 ayat (2) yang berbunyi, “cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”.

Dan berkaitan dengan program subsidi terhadap kebutuhan pokok rakyat termasuk BBM yang harus diberikan kepada rakyat selalu akan terganggu, karena pendapatan pemerintah di samping bergantung pada ekonomi pasar yang berkaitan dengan pajak dan macam pajak yang dipungut langsung dari rakyat dan juga berasal dari keuntungan dari perusahaan yang vital yang jumlahnya dapat dikatakan tidak lagi signifikan karena penerimaan negara disektor ini hanya sedikit, dan ini disebabkan perusahaan-perusahaan penting yang ada di Indonesia sebagian besar kepemilikannya adalah milik orang asing atau investor asing.

Kesimpulannya subsidi pemerintah kepada rakyat selalu akan terganggu dan kebijakan pemerintah yang selalu berusaha mengurangi dan menghapuskan subsidi jelas bertentangan dengan tujuan negara ke dalam sebagaimana disebut di dalam alinea ke-IV pada Pembukaan UUD 1945. ( February 2011 )

0 komentar:

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENCEMARAN INDUSTRI
A. Pendahuluan
Sebenarnya dalam sistem hukum pidana dimungkinkan pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana yang penyelesaiannya dikaitkan sekaligus dalam satu putusan hakim yang menjatuhkan pidana atas diri pelaku tindak pidana, mengikuti acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melakui putusan pidana bersyarat.
Dalam Raker Teknis Gabungan Mahkamah Agung dengan pengadilan –pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama pada tahun 1985 di Yogyakarta disepakati tentang Patokan Pemidanaan (Sentencing Standard) yang mewajibkan Hakim dalam putusannya mencantumkan alasan yang lengkap di dalam pertimbangannya (motieverings plicht), antara lain :
  1. Adanya pelanggaran atas norma hukum (normovertreding);
  2. Bobot tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
  3. Segala hal ihwal mengenai diri terdakwa;
  4. Akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara. 1
Berkaitan dengan permohonan saksi korban untuk memperoleh ganti kerugian, yang diajukan sebelum jaksa PU membacakan rekuisitur atau setidak-tidaknya sebelum Hakim menetapkan putusannya, kiranya Hakim dapat memenuhi permohonan tersebut setelah mempertimbangkan dari seluruh aspek yang disarankan menurut pedoman di atas, khususnya apabila menyangkut kerugian dan penderitaan sebagai akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara.
Mahkamah Agung RI juga pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor 5, Tanggal 3 September 1972, yang pada pokoknya mengarahkan para hakim agar pidana yang dijatuhkan atas diri tersangka harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya.
Dengan demikian, dapat saja kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban ditetapkan sebagai masyarakat khusus dalam Pidana Bersyarat, apabila Hakim berpendapat ganti kerugian yang diminta dapat dipersamakan sebagai nestapa yang setimpal dengan berat dan sifat kejahatan. Walaupun mungkin saja Hakim sampai pada kesimpulan untuk tidak memenuhi permintaan ganti kerugian yang diajukan saksi korban, dan menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan dan atau denda atas diri terdakwa yang harus segera dijalankan. 2
Demikianlah peluang untuk memperoleh ganti kerugian akan diperoleh korban pencemaran industri, apabila Hakim mau mempertimbangkan penyelesaian permohonan saksi korban dikaitkan sekaligus dalam satu putusan Hakim terhadap pelaku tindak pidana, menurut acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melalui putusan pidana bersyarat.
Perlu dikemukakan, bahwa titik terang dalam pembaharuan hukum pidana telah diisyaratkan dalam konsep Rancangan KUHP Baru tahun 1991/1992, yaitu disamping pidana pokok, dirumuskan pula beberapa pidana tambahan (sebagai sistem pidana baru) berupa pengenaan kewajiban ganti rugi, pengenaan kewajiban adat dan pengenaan kewajiban agama. 3
Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan penegak hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum. Ganti kerugian yang diwajibkan oleh penegak hukum pada pelanggar untuk diberikan kepada korban,kiranya dapat dipahami sebagai tindakan memulihkan kembali (evenwicht harmonis) antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman semasyarakat. 4
B. Permasalahan
Bagaimanakah perlindungan hukum korban industri ?
C. Pembahasan
Dalam Daftar Pabrik-Pabrik Kertas PMDN di Jawa Timur (daftar urutan berdasarkan nilai investasi, industri kertas tersebut berada pada urutan nomor 2, yaitu dengan investasi Rp. 161.295.600.000,- dan total kapasitas produksi maksimum 250.000 ton. Perusahaan ini merupakan salah satu produsen kertas kraft dan kertas medium untuk ekspor yang terbesar di Indonesia.
Pada waktu “Operasi Kemukus” dilancarkan oleh POLDA Jatim pada tahun 1990, perusahaan tersebut masuk kategori salah satu dari beberapa industri yang tidak mempunyai alat pengolah limbah (“waste water treatment”) yang memenuhi syarat. 5
Sungai Porong, yang airnya biasa dipakai untuk bahan baku air minum, untuk mandi dan untuk cuci pakaian oleh penduduk Desa Bangun (sungai golongan B), selama beberapa bulan pada waktu itu (sekitar 1990) telah mengalami perubahan warna menjadi agak coklat tua dan permukaannya berbuih.
Sementara itu beberapa sumur penduduk di sekitar lokasi pabrik dilaporkan mengalami keadaan serupa, airnya menjadi tak dapat diminum, karena warnya telah berubah menjadi keruh berbuih, kecoklatan dan berbau busuk. Kesehatan penduduk di desa tersebut dikhawatirkan memburuk. 6
Dari hasil observasi di lapangan, ternyata dapat ditemukan keadaan-keadaan yang terasa kontroversial, sebagai berikut :
  1. Pertama-tama sejak beroperasinya pabrik kertas tersebut, tanah sawah penduduk sekitar yang sebelumnya hanya dapat ditanami padi satu kali satu tahun (tanah sawah tadah hujan), karena memperoleh air eks buangan limbah, kemudian dapat ditanami tiga kali setahun ; pernah kejadian penduduk justru menuntut Bupati KDH Kabupaten Mojokerto untuk membuka saluran-saluran limbah yang menuju tanah-tanah sawah mereka yang sempat ditutup dalam rangka penyidikan kasus pencemaran PT. PA ini oleh Pihak Kepolisian;
  2. Kerak limbah yang mengapung di lahan lagoon diambil secara bebas oleh penduduk sekitar untuk dijual ke luar sebagai briket-briket yang mempunyai nilai ekonomis (Rp., 15.000,- per truk Colt) untuk bahan bakar batu bata, genteng dan lain-lain;
  3. Untuk mengatasi keruhnya sumur-sumur penduduk akibat air limbah yang merembes di tanah, perusahaan telah membangunkan sistem pengadaan air bersih, dengan cara menggali beberapa sumur bor (“deep well”), yang airnya kemudian disalurkan dengan pipa ke rumah-rumah penduduk sekitar yang letak dekat implasemen dan membuat beberapa sumur pompa tangan-tangan bagi kelompok-kelompok perumahan penduduk yang tidak dipungut pembayaran baik untuk pemasangan kran maupun untuk pemakaian air tiap bulannya.
Dari data-data tersebut di atas nampak adanya kecenderungan, para korban pencemaran industri telah didudukkan dalam keadaan ketergantungan terhadap fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Pihak PT. PA. 7
Dalam rangka membahas “corporate victimization” dalam bukunya “Victimology”. Sandra Walklate melukiskan bahwa kebanyakan warga masyarakat sekitar, yang menjadi korban pencemaran industri (disebut victims dari “corporate crime”), tidak mungkin dapat memilih atau menarik diri untuk tidak menjadi korban pencemaran industri (“ecological vulnerable”).
Marjono Reksodiputro melukiskan, para korban bukanlah tandingan yang imbang untuk menghadapi pengusaha industri pencemar, yang mempunyai kekuasaan ekonomi (kadang-kadang kekuasaan politik), yang pada kesempatan lain kekuasaan ini disinggungnya menjadi salah satu handikap pengungkapan kasus pencemaran lingkungan pada umumnya. 8
Karakteristik yang spesifik dari kegiatan industri PT. PA Mojokerto tersebut, dapat diidentifikasi sebagai berikut :
  1. Pelaku pencemar berbentuk badan hukum (korporasi);
  2. Pengusaha yang perusahaannya melakukan kegiatan pencemaran, kebanyakan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, karena kekuasaan ekonomi (terkadang kekuasaan politik) yang dimiliki ;
  3. Pencemaran yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai “Kejahatan Ekonomi” (“economic crimes”), selalu dilakukan dengan kedok “legitimate economic activities”, bukan dengan kekerasan fisik sepertikejahatan (penodongan atau perampokan);
  4. Korban meliputi warga masyarakat luas, penduduk yang bermukim di sekitar emplasmen industri, dalam suatu areal yang relatif luas, sehingga para korban dapat dikategorikan sebagai “abstract victims” atau “collective victims”. 9
Dari pembahasan di atas kiranya dapat dipahami bahwa viktimisasi tidak boleh dipandang sebagai akibat dari tingkah laku pengusaha industri pencemar semata-mata. Viktimisasi yang menimpa para warga masyarakat yang menjadi korban pencemaran industri bersifat struktural, bukan bersifat individual, nampak dari sifat kapitalistiknya masyarakat industri, yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan atau tuntutan perhitungan ekonomi, dari pada mengutamakan kesehatan atau peraturan-peraturan keselamatan.
Warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan berada dalam keadaan menerima lingkungan hidupnya yang rusak atau tercemar tersebut sebagai musibah dan tidak merasa perlu menyalahkan siapa-siapa. 10
Bagi pihak pengusaha industri kebutuhan untuk memperoleh keuntungan nampak memainkan bagian penting pada perusakan atau pencemaran lingkungan, sementara bagi pihak warga masyarakat yang menjadi korban alih-alih ingin memperoleh keinginan penghasilan dan keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka mau berbuat apa saja (seperti yang terjadi dalam kasus PT. PA Mojokerto, warga masyarakat sekitar sendiri bahkan menuntut agar air limbah dialirkan ke lahan-lahan pertaniannya. Mungkin karena keadaan warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan miskin, nampak akan ada kecenderungan selalu terjadi kolusi dengan pihak pengusaha industri untuk tidak menghiraukan kesehatan dan peraturan keselamatan.
Semua perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan dampak yang negatif terhadap keselamatan jiwa dan kesejahteraan hidup manusia merupakan malapetaka, sementara pihak pengusaha industri pencemar kebanyakan tidak pernah merasa dirinya sebagai “pelaku kejahatan”. 11
Tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Pasal 51 (baru) Rancangan KUHP baru pada pokoknya menekankan pengayoman masyarakat, pembinaan, menyelesaikan konflik dan membebaskan terpidana dari rasa bersalah, kiranya konform dengan kecenderungan universal Marc Ancel dengan “aliran defense sociale nouvelle” (perlindungan masyarakat yang baru), yang memandang tercelanya perbuatan diukur dari berbahayanya si pembuat terhadap masyarakat dengan melihat perbuatannya (anti socialitat), dan perlunya terhadap pembuat diperlakukan individualisasi pidana dan resosialisasi atau pemasyarakatan kembali.
Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No. 4.1982), pada bagian penjelasan A. Umum, dirumuskan hekakat Lingkungan Hidup Indonesia, sebagai berikut :
Lingkungan Hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari padaNya dan wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat menajdi sumber dan penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. 12
Apabila kita kembalikan keseluruhan kebijaksanaan penyelesaian masalah lingkungan ini pada Pembukaan UUD 1945, pada alinea IV, yaitu pada wawasan lingkungan yang merumuskan tugas kewajiban Negara dan Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia demi kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh umat manusia di dunia, maka perlindungan hukum bagi warga masyarakat kecil yang menjadi kroban pencemaran industri, kiranya akan selalu berlandaskan pada pandangan hidup untuk mendahulukan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Sikap pengusaha industri pencemar yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan tanpa menghiraukan kesehatan dan peraturan lingkungan, merupakan pelanggaran terhadap hak atau kepentingan hukum orang per orang, atau dengan perkataan lain sudah merupakan serangan terhadap masyarakat, oleh karena itu seyogyanya negara bertindak, reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh negara melalui badan penegak hukum.
J.E. Sahetapy, dengan tajam bahkan menggambarkan para pengusaha industri pencemar sebagai “penjahat siluman” atau “invisible criminal,” sedangkan para korban pencemaran industri sebagai “korban yang tidak kelihatan” atau invisible victim”. 13
D. Penutup
Setelah dilakukan peninjauan terhadap peranan hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Rancangan KUHP baru, secara utuh menyeluruh dari berbagai aspek sosial, budaya dan struktural masyarakat, maka dapat disimpulkan perspektif hukum pidana baru tersebut, sebagai berikut :
  1. Aspek korban diperhatikan dalam rangka penjatuhan pidana, yakni pencantuman ganti kerugian sebagai pidana tambahan;
  2. Pidana penjara atau pidana denda disertai dengan pengenaan kewajiban membayar ganti kerugian, akan memulihkan keseimbangan hidup bermasyarakat ke keadaan semula, lahir maupun batin dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ;
  3. Reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh Negara melalui Badan Penegak Hukum.
Dengan demikian, sementara dapat direkomendasikan, agar pada kasus-kasus pencemaran industri yang cukup “serious” (yang menimbulkan malapetaka, “disaster”, dan motif kegiatan pengusaha industri semata-mata demi mengejar keuntungan, tanpa memperhitungkan kesehatan dan keselamatan jiwa warga masyarakat penduduk sekitar), kiranya pertama-tama langkah yang harus diambil oleh penegak hukum adalah, secara tegas segera mengambil alih reaksi terhadap pengusaha industri pencemar, si pelaku delik, dengan melakukan penuntutan pidana agar kegiatan-kegiatan yang merusak atau mencemarkan lingkungan dihentikan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi. Langkah berikutnya, dengan menatap masa depan, adalah menerapkan pidana tambahan dalam rangka mengemplimentasikan perlindungan hukum bagi korban pencemaran industri yang kebanyakan merupakan masalah yang tentunya mengharapkan dapat memperoleh ganti kerugian dari pengusaha industri pencemar.
Kebijaksanaan penuntutan dimaksud merupakan suatu kebijaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang inovatif, yang dapat memberikan perlindungan hukum kepada korban pencemaran industri, konform dengan pencantuman sebagai pidana tambahan dalam rancangan KUHP Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Andojo Soetjipto, 1991. Hukum Pidna dan Hukum Acara Pidana. Pelatihan Tehnis Yustisial hakim Militer. Batu Malang
Bintoro, 1993. Perlindungan Hukum Bagi Korban Pencemaran Industri. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Viktimologi III Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan Miyaza Foundation Asia Crime Prevention Foundation (ACPF)-Masumoto Foundation. “Fiktimologi dalam rangka Pembangunan jangka panang Tahap II”. Surabaya, 20-21 Desember 1993.
1 Bintoro, 1993. Perlindungan Hukum Bagi Korban Pencemaran Industri. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Viktimologi III Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan Miyaza Foundation Asia Crime Prevention Foundation (ACPF)-Masumoto Foundation. “Fiktimologi dalam rangka Pembangunan jangka panang Tahap II”. Surabaya, 20-21 Desember 1993. hal. 14
2 Ibid., hal. 15.
3 Ibid., hal. 16.
4 Ibid., hal. 17.
5 Ibid., hal. 18.
6 Ibid., hal. 19.
7 Ibid., hal. 19-20
8 Ibid., hal. 21.
9 Loc. cit.
10 Ibid., hal. 22.
11 Ibid., hal. 22-23.
12 Ibid., hal. 23-24.

13 Ibid., hal. 25.

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENCEMARAN INDUSTRI

Posted at  22.33  |  in    |  Read More»

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENCEMARAN INDUSTRI
A. Pendahuluan
Sebenarnya dalam sistem hukum pidana dimungkinkan pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana yang penyelesaiannya dikaitkan sekaligus dalam satu putusan hakim yang menjatuhkan pidana atas diri pelaku tindak pidana, mengikuti acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melakui putusan pidana bersyarat.
Dalam Raker Teknis Gabungan Mahkamah Agung dengan pengadilan –pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama pada tahun 1985 di Yogyakarta disepakati tentang Patokan Pemidanaan (Sentencing Standard) yang mewajibkan Hakim dalam putusannya mencantumkan alasan yang lengkap di dalam pertimbangannya (motieverings plicht), antara lain :
  1. Adanya pelanggaran atas norma hukum (normovertreding);
  2. Bobot tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
  3. Segala hal ihwal mengenai diri terdakwa;
  4. Akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara. 1
Berkaitan dengan permohonan saksi korban untuk memperoleh ganti kerugian, yang diajukan sebelum jaksa PU membacakan rekuisitur atau setidak-tidaknya sebelum Hakim menetapkan putusannya, kiranya Hakim dapat memenuhi permohonan tersebut setelah mempertimbangkan dari seluruh aspek yang disarankan menurut pedoman di atas, khususnya apabila menyangkut kerugian dan penderitaan sebagai akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara.
Mahkamah Agung RI juga pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor 5, Tanggal 3 September 1972, yang pada pokoknya mengarahkan para hakim agar pidana yang dijatuhkan atas diri tersangka harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya.
Dengan demikian, dapat saja kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban ditetapkan sebagai masyarakat khusus dalam Pidana Bersyarat, apabila Hakim berpendapat ganti kerugian yang diminta dapat dipersamakan sebagai nestapa yang setimpal dengan berat dan sifat kejahatan. Walaupun mungkin saja Hakim sampai pada kesimpulan untuk tidak memenuhi permintaan ganti kerugian yang diajukan saksi korban, dan menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan dan atau denda atas diri terdakwa yang harus segera dijalankan. 2
Demikianlah peluang untuk memperoleh ganti kerugian akan diperoleh korban pencemaran industri, apabila Hakim mau mempertimbangkan penyelesaian permohonan saksi korban dikaitkan sekaligus dalam satu putusan Hakim terhadap pelaku tindak pidana, menurut acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melalui putusan pidana bersyarat.
Perlu dikemukakan, bahwa titik terang dalam pembaharuan hukum pidana telah diisyaratkan dalam konsep Rancangan KUHP Baru tahun 1991/1992, yaitu disamping pidana pokok, dirumuskan pula beberapa pidana tambahan (sebagai sistem pidana baru) berupa pengenaan kewajiban ganti rugi, pengenaan kewajiban adat dan pengenaan kewajiban agama. 3
Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan penegak hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum. Ganti kerugian yang diwajibkan oleh penegak hukum pada pelanggar untuk diberikan kepada korban,kiranya dapat dipahami sebagai tindakan memulihkan kembali (evenwicht harmonis) antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman semasyarakat. 4
B. Permasalahan
Bagaimanakah perlindungan hukum korban industri ?
C. Pembahasan
Dalam Daftar Pabrik-Pabrik Kertas PMDN di Jawa Timur (daftar urutan berdasarkan nilai investasi, industri kertas tersebut berada pada urutan nomor 2, yaitu dengan investasi Rp. 161.295.600.000,- dan total kapasitas produksi maksimum 250.000 ton. Perusahaan ini merupakan salah satu produsen kertas kraft dan kertas medium untuk ekspor yang terbesar di Indonesia.
Pada waktu “Operasi Kemukus” dilancarkan oleh POLDA Jatim pada tahun 1990, perusahaan tersebut masuk kategori salah satu dari beberapa industri yang tidak mempunyai alat pengolah limbah (“waste water treatment”) yang memenuhi syarat. 5
Sungai Porong, yang airnya biasa dipakai untuk bahan baku air minum, untuk mandi dan untuk cuci pakaian oleh penduduk Desa Bangun (sungai golongan B), selama beberapa bulan pada waktu itu (sekitar 1990) telah mengalami perubahan warna menjadi agak coklat tua dan permukaannya berbuih.
Sementara itu beberapa sumur penduduk di sekitar lokasi pabrik dilaporkan mengalami keadaan serupa, airnya menjadi tak dapat diminum, karena warnya telah berubah menjadi keruh berbuih, kecoklatan dan berbau busuk. Kesehatan penduduk di desa tersebut dikhawatirkan memburuk. 6
Dari hasil observasi di lapangan, ternyata dapat ditemukan keadaan-keadaan yang terasa kontroversial, sebagai berikut :
  1. Pertama-tama sejak beroperasinya pabrik kertas tersebut, tanah sawah penduduk sekitar yang sebelumnya hanya dapat ditanami padi satu kali satu tahun (tanah sawah tadah hujan), karena memperoleh air eks buangan limbah, kemudian dapat ditanami tiga kali setahun ; pernah kejadian penduduk justru menuntut Bupati KDH Kabupaten Mojokerto untuk membuka saluran-saluran limbah yang menuju tanah-tanah sawah mereka yang sempat ditutup dalam rangka penyidikan kasus pencemaran PT. PA ini oleh Pihak Kepolisian;
  2. Kerak limbah yang mengapung di lahan lagoon diambil secara bebas oleh penduduk sekitar untuk dijual ke luar sebagai briket-briket yang mempunyai nilai ekonomis (Rp., 15.000,- per truk Colt) untuk bahan bakar batu bata, genteng dan lain-lain;
  3. Untuk mengatasi keruhnya sumur-sumur penduduk akibat air limbah yang merembes di tanah, perusahaan telah membangunkan sistem pengadaan air bersih, dengan cara menggali beberapa sumur bor (“deep well”), yang airnya kemudian disalurkan dengan pipa ke rumah-rumah penduduk sekitar yang letak dekat implasemen dan membuat beberapa sumur pompa tangan-tangan bagi kelompok-kelompok perumahan penduduk yang tidak dipungut pembayaran baik untuk pemasangan kran maupun untuk pemakaian air tiap bulannya.
Dari data-data tersebut di atas nampak adanya kecenderungan, para korban pencemaran industri telah didudukkan dalam keadaan ketergantungan terhadap fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Pihak PT. PA. 7
Dalam rangka membahas “corporate victimization” dalam bukunya “Victimology”. Sandra Walklate melukiskan bahwa kebanyakan warga masyarakat sekitar, yang menjadi korban pencemaran industri (disebut victims dari “corporate crime”), tidak mungkin dapat memilih atau menarik diri untuk tidak menjadi korban pencemaran industri (“ecological vulnerable”).
Marjono Reksodiputro melukiskan, para korban bukanlah tandingan yang imbang untuk menghadapi pengusaha industri pencemar, yang mempunyai kekuasaan ekonomi (kadang-kadang kekuasaan politik), yang pada kesempatan lain kekuasaan ini disinggungnya menjadi salah satu handikap pengungkapan kasus pencemaran lingkungan pada umumnya. 8
Karakteristik yang spesifik dari kegiatan industri PT. PA Mojokerto tersebut, dapat diidentifikasi sebagai berikut :
  1. Pelaku pencemar berbentuk badan hukum (korporasi);
  2. Pengusaha yang perusahaannya melakukan kegiatan pencemaran, kebanyakan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, karena kekuasaan ekonomi (terkadang kekuasaan politik) yang dimiliki ;
  3. Pencemaran yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai “Kejahatan Ekonomi” (“economic crimes”), selalu dilakukan dengan kedok “legitimate economic activities”, bukan dengan kekerasan fisik sepertikejahatan (penodongan atau perampokan);
  4. Korban meliputi warga masyarakat luas, penduduk yang bermukim di sekitar emplasmen industri, dalam suatu areal yang relatif luas, sehingga para korban dapat dikategorikan sebagai “abstract victims” atau “collective victims”. 9
Dari pembahasan di atas kiranya dapat dipahami bahwa viktimisasi tidak boleh dipandang sebagai akibat dari tingkah laku pengusaha industri pencemar semata-mata. Viktimisasi yang menimpa para warga masyarakat yang menjadi korban pencemaran industri bersifat struktural, bukan bersifat individual, nampak dari sifat kapitalistiknya masyarakat industri, yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan atau tuntutan perhitungan ekonomi, dari pada mengutamakan kesehatan atau peraturan-peraturan keselamatan.
Warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan berada dalam keadaan menerima lingkungan hidupnya yang rusak atau tercemar tersebut sebagai musibah dan tidak merasa perlu menyalahkan siapa-siapa. 10
Bagi pihak pengusaha industri kebutuhan untuk memperoleh keuntungan nampak memainkan bagian penting pada perusakan atau pencemaran lingkungan, sementara bagi pihak warga masyarakat yang menjadi korban alih-alih ingin memperoleh keinginan penghasilan dan keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka mau berbuat apa saja (seperti yang terjadi dalam kasus PT. PA Mojokerto, warga masyarakat sekitar sendiri bahkan menuntut agar air limbah dialirkan ke lahan-lahan pertaniannya. Mungkin karena keadaan warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan miskin, nampak akan ada kecenderungan selalu terjadi kolusi dengan pihak pengusaha industri untuk tidak menghiraukan kesehatan dan peraturan keselamatan.
Semua perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan dampak yang negatif terhadap keselamatan jiwa dan kesejahteraan hidup manusia merupakan malapetaka, sementara pihak pengusaha industri pencemar kebanyakan tidak pernah merasa dirinya sebagai “pelaku kejahatan”. 11
Tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Pasal 51 (baru) Rancangan KUHP baru pada pokoknya menekankan pengayoman masyarakat, pembinaan, menyelesaikan konflik dan membebaskan terpidana dari rasa bersalah, kiranya konform dengan kecenderungan universal Marc Ancel dengan “aliran defense sociale nouvelle” (perlindungan masyarakat yang baru), yang memandang tercelanya perbuatan diukur dari berbahayanya si pembuat terhadap masyarakat dengan melihat perbuatannya (anti socialitat), dan perlunya terhadap pembuat diperlakukan individualisasi pidana dan resosialisasi atau pemasyarakatan kembali.
Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No. 4.1982), pada bagian penjelasan A. Umum, dirumuskan hekakat Lingkungan Hidup Indonesia, sebagai berikut :
Lingkungan Hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari padaNya dan wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat menajdi sumber dan penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. 12
Apabila kita kembalikan keseluruhan kebijaksanaan penyelesaian masalah lingkungan ini pada Pembukaan UUD 1945, pada alinea IV, yaitu pada wawasan lingkungan yang merumuskan tugas kewajiban Negara dan Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia demi kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh umat manusia di dunia, maka perlindungan hukum bagi warga masyarakat kecil yang menjadi kroban pencemaran industri, kiranya akan selalu berlandaskan pada pandangan hidup untuk mendahulukan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Sikap pengusaha industri pencemar yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan tanpa menghiraukan kesehatan dan peraturan lingkungan, merupakan pelanggaran terhadap hak atau kepentingan hukum orang per orang, atau dengan perkataan lain sudah merupakan serangan terhadap masyarakat, oleh karena itu seyogyanya negara bertindak, reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh negara melalui badan penegak hukum.
J.E. Sahetapy, dengan tajam bahkan menggambarkan para pengusaha industri pencemar sebagai “penjahat siluman” atau “invisible criminal,” sedangkan para korban pencemaran industri sebagai “korban yang tidak kelihatan” atau invisible victim”. 13
D. Penutup
Setelah dilakukan peninjauan terhadap peranan hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Rancangan KUHP baru, secara utuh menyeluruh dari berbagai aspek sosial, budaya dan struktural masyarakat, maka dapat disimpulkan perspektif hukum pidana baru tersebut, sebagai berikut :
  1. Aspek korban diperhatikan dalam rangka penjatuhan pidana, yakni pencantuman ganti kerugian sebagai pidana tambahan;
  2. Pidana penjara atau pidana denda disertai dengan pengenaan kewajiban membayar ganti kerugian, akan memulihkan keseimbangan hidup bermasyarakat ke keadaan semula, lahir maupun batin dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ;
  3. Reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh Negara melalui Badan Penegak Hukum.
Dengan demikian, sementara dapat direkomendasikan, agar pada kasus-kasus pencemaran industri yang cukup “serious” (yang menimbulkan malapetaka, “disaster”, dan motif kegiatan pengusaha industri semata-mata demi mengejar keuntungan, tanpa memperhitungkan kesehatan dan keselamatan jiwa warga masyarakat penduduk sekitar), kiranya pertama-tama langkah yang harus diambil oleh penegak hukum adalah, secara tegas segera mengambil alih reaksi terhadap pengusaha industri pencemar, si pelaku delik, dengan melakukan penuntutan pidana agar kegiatan-kegiatan yang merusak atau mencemarkan lingkungan dihentikan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi. Langkah berikutnya, dengan menatap masa depan, adalah menerapkan pidana tambahan dalam rangka mengemplimentasikan perlindungan hukum bagi korban pencemaran industri yang kebanyakan merupakan masalah yang tentunya mengharapkan dapat memperoleh ganti kerugian dari pengusaha industri pencemar.
Kebijaksanaan penuntutan dimaksud merupakan suatu kebijaksanaan penegakan hukum lingkungan kepidanaan yang inovatif, yang dapat memberikan perlindungan hukum kepada korban pencemaran industri, konform dengan pencantuman sebagai pidana tambahan dalam rancangan KUHP Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Andojo Soetjipto, 1991. Hukum Pidna dan Hukum Acara Pidana. Pelatihan Tehnis Yustisial hakim Militer. Batu Malang
Bintoro, 1993. Perlindungan Hukum Bagi Korban Pencemaran Industri. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Viktimologi III Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan Miyaza Foundation Asia Crime Prevention Foundation (ACPF)-Masumoto Foundation. “Fiktimologi dalam rangka Pembangunan jangka panang Tahap II”. Surabaya, 20-21 Desember 1993.
1 Bintoro, 1993. Perlindungan Hukum Bagi Korban Pencemaran Industri. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Viktimologi III Fakultas Hukum Universitas Airlangga bekerjasama dengan Miyaza Foundation Asia Crime Prevention Foundation (ACPF)-Masumoto Foundation. “Fiktimologi dalam rangka Pembangunan jangka panang Tahap II”. Surabaya, 20-21 Desember 1993. hal. 14
2 Ibid., hal. 15.
3 Ibid., hal. 16.
4 Ibid., hal. 17.
5 Ibid., hal. 18.
6 Ibid., hal. 19.
7 Ibid., hal. 19-20
8 Ibid., hal. 21.
9 Loc. cit.
10 Ibid., hal. 22.
11 Ibid., hal. 22-23.
12 Ibid., hal. 23-24.

13 Ibid., hal. 25.

0 komentar:

About-Privacy Policy-Contact us
Copyright © 2013 Official Web: Kewarganegaraan. smp ymik. Distributed By Blogger Themes | Blogger Template by Bloggertheme9
Proudly Powered by Blogger.
back to top