Petugas KPK membawa tas yang berisi uang suap Ketua MK. Foto: INU
Peran
Mahkamah konstitusi (MK) sangat kuat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Putusan MK fundamental, final, dan mengikat. Oleh karena itu
tidak boleh ada kesalahan ataupun penyimpangan dalam pengambilan
keputusan.
"Peran MK
memang kuat, putusannya final dan mengikat. Dan yang diputus adalah isu
yang fundamental," Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan hal ini
pada bagian lain keterangan persnya terkait penangkapan Ketua MK oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di Kantor Presiden, Kamis (3/10)
siang seperti dikutip www.presidenri.go.id.
Oleh KPK,
Akil ditetapkan sebagai tersangka terkait dua sengketa pemilihan kepala
daerah (Pilkada) di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan
Kabupaten Lebak, Banten. Penetapan dilakukan KPK setelah penyelidik
melakukan gelar perkara dengan pimpinan KPK, Kamis (3/10) jam 11.00 WIB.
Penyampaian
penetapan tersangka itu dilakukan oleh Abraham Samad (Ketua KPK)
didampingi Wakil Ketua Bambang Widjojanto dan Deputi Penindakan Warih
Sadono. Pimpinan KPK mengundang Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam
konferensi pers tersebut. “Wakil Ketua MK yang mengutus saya datang ke
KPK,” ujar Patrialis.
Abraham
mengatakan Akil diduga menerima suap dari Bupati Gunung Mas hingga
mencapai Rp3 miliar serta Rp1 miliar dari Tubagus C Wardhana, suami dari
Bupati Tangerang Selatan, Banten, Airin Rachmy Diany.
Dia bersama
Chairunissa, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ditetapkan sebagai
tersangka penerima suap terkait sengketa Pilkada Gunung Mas. “Disangka
dengan Pasal 12 huruf c UU No.20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP atau Pasal 6 ayat (2) jo Pasal 55 yat (1) kesatu KUHP,” urait Abraham.
Sedangkan
Bupati Gunung Mas, Hamid Bintih dan Cornelis Nalau, seorang pengusaha
dari Palangkaraya, Kalteng ditetapkan sebagai tersangka pemberi.
Keduanya dikenakan Pasal 6 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1)
kesatu KUHP.
Dalam
sengketa Pilkada Lebak, Akil ditetapkan sebagai tersangka dengan seorang
advokat bernama Susi Tur Handayani. Keduanya ditetapkan sebagai
penerima suap dengan Pasal sangkaan Pasal 12 huruf c UU Tipikor jo Pasal
55 ayat (1) kesatu KUHP atau Pasal 6 ayat (2) jo pasal 55 ayat (1)
kesatu KUHP.
KPK
menyangka Tubagus dan kawan-kawan sebagai tersangka pemberi suap. Dia
disangka dengan Pasal 6 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) kesatu
KUHP. Tubagus diketahui sebagai adik kandung dari Gubernur Banten, Ratu
Atut Chosiyah.
Bambang
Widjojanto menambahkan, sejak awal September sudah ada laporan dari
masyarakat akan rencana suap ini. Sehingga tim KPK memantau Akil dan
mereka yang akan bertransaksi. Kemudian pada 2 Oktober 2013 tim memantau
rumah dinas Akil di Jl Widya Chandra 3, Jakarta Selatan sekira 22.00
WIB sebuah mobil Fortuner warna putih mendatangi rumah itu. Mobil
tersebut dikemudikan suami Chairunissa dan langsung disilakan masuk tuan
rumah. Tim KPK tak berapa lama masuk ke rumah dan diketahui ada amplop
coklat dalam rumah itu dan setelah dibuka berisi uang dalam pecahan
dolar AS dan dolar Singapura dengan total Rp3 miliar.
Sedangkan
dalam sengketa Pilkada Lebak, Susi yang juga kenalan Akil menerima uang
dari Tubagus. Uang diserahkan dari F ke Susi di Apartemen Aston lalu
disimpan si pengacara di rumah orang tuanya di kawasan Tebet, Jaksel.
Lalu dia berangkat ke Lebak pada Kamis (2/10) siang tanpa disadari
diikuti tim KPK lalu menangkapnya di Lebak. Karena tak ditemukan uang,
tim mencari ke rumah orang tua Susi dan ditemukan uang ratusan ribu
rupiah di dalam travel bag bergaris biru dengan total Rp1 miliar untuk
diserahkan pada Akil. Sedangkan Tubagus ditangkap, Rabu (2/10) malam di
rumah di Jl Denpasar, Jakarta Selatan.
Patrialis
pada kesempatan itu menyatakan, MK menjadi lembaga penegak keadilan
dalam proses demokrasi. “Jangan karena perilaku satu orang MK sebagai
lembaga hancur. Masyarakat harus tetap mempercayai lembaga MK,”
paparnya.
Dia
menyatakan MK membentuk majelis kehormatan untuk memberikan sanksi pada
Akil. Majelis ini dibentuk untuk menangani pelanggaran etik dan
administrasi hakim konstitusi dengan hukuman maksimal pemberhentian.
“Mulai bekerja besok, Jumat (4/10),” paparnya.
Menurutnya
MK menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. “Tapi, kewenangan
pemberhentian hakim konstitusi yang melakukan pelanggaran adalah ranah
majelis kehormatan, bukan proses hukum KPK,” tegasnya.