PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENCEMARAN INDUSTRI
A. Pendahuluan
Sebenarnya
dalam sistem hukum pidana dimungkinkan pemberian ganti kerugian kepada
korban tindak pidana yang penyelesaiannya dikaitkan sekaligus dalam satu
putusan hakim yang menjatuhkan pidana atas diri pelaku tindak pidana,
mengikuti acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melakui
putusan pidana bersyarat.
Dalam
Raker Teknis Gabungan Mahkamah Agung dengan pengadilan –pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama
pada tahun 1985 di Yogyakarta disepakati tentang Patokan Pemidanaan (Sentencing Standard) yang mewajibkan Hakim dalam putusannya mencantumkan alasan yang lengkap di dalam pertimbangannya (motieverings plicht), antara lain :
-
Adanya pelanggaran atas norma hukum (normovertreding);
-
Bobot tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
-
Segala hal ihwal mengenai diri terdakwa;
-
Akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara.
Berkaitan
dengan permohonan saksi korban untuk memperoleh ganti kerugian, yang
diajukan sebelum jaksa PU membacakan rekuisitur atau setidak-tidaknya
sebelum Hakim menetapkan putusannya, kiranya Hakim dapat memenuhi
permohonan tersebut setelah mempertimbangkan dari seluruh aspek yang
disarankan menurut pedoman di atas, khususnya apabila menyangkut
kerugian dan penderitaan sebagai akibat yang ditimbulkan terhadap korban
dan atau masyarakat dan atau negara.
Mahkamah
Agung RI juga pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor 5, Tanggal 3
September 1972, yang pada pokoknya mengarahkan para hakim agar pidana
yang dijatuhkan atas diri tersangka harus setimpal dengan berat dan
sifat kejahatannya.
Dengan
demikian, dapat saja kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada
korban ditetapkan sebagai masyarakat khusus dalam Pidana Bersyarat,
apabila Hakim berpendapat ganti kerugian yang diminta dapat dipersamakan
sebagai nestapa yang setimpal dengan berat dan sifat kejahatan.
Walaupun mungkin saja Hakim sampai pada kesimpulan untuk tidak memenuhi
permintaan ganti kerugian yang diajukan saksi korban, dan menjatuhkan
pidana perampasan kemerdekaan dan atau denda atas diri terdakwa yang
harus segera dijalankan.
Demikianlah
peluang untuk memperoleh ganti kerugian akan diperoleh korban
pencemaran industri, apabila Hakim mau mempertimbangkan penyelesaian
permohonan saksi korban dikaitkan sekaligus dalam satu putusan Hakim
terhadap pelaku tindak pidana, menurut acara Penggabungan Perkara
Gugatan Ganti Kerugian atau melalui putusan pidana bersyarat.
Perlu
dikemukakan, bahwa titik terang dalam pembaharuan hukum pidana telah
diisyaratkan dalam konsep Rancangan KUHP Baru tahun 1991/1992, yaitu
disamping pidana pokok, dirumuskan pula beberapa pidana tambahan
(sebagai sistem pidana baru) berupa pengenaan kewajiban ganti rugi,
pengenaan kewajiban adat dan pengenaan kewajiban agama.
Segala
perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran
hukum dan penegak hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu
guna memulihkan kembali perimbangan hukum. Ganti kerugian yang
diwajibkan oleh penegak hukum pada pelanggar untuk diberikan kepada
korban,kiranya dapat dipahami sebagai tindakan memulihkan kembali (evenwicht harmonis)
antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya
dan orang seorang, antara persekutuan dan teman semasyarakat.
B. Permasalahan
Bagaimanakah perlindungan hukum korban industri ?
C. Pembahasan
Dalam
Daftar Pabrik-Pabrik Kertas PMDN di Jawa Timur (daftar urutan
berdasarkan nilai investasi, industri kertas tersebut berada pada urutan
nomor 2, yaitu dengan investasi Rp. 161.295.600.000,- dan total
kapasitas produksi maksimum 250.000 ton. Perusahaan ini merupakan salah
satu produsen kertas kraft dan kertas medium untuk ekspor yang terbesar
di Indonesia.
Pada
waktu “Operasi Kemukus” dilancarkan oleh POLDA Jatim pada tahun 1990,
perusahaan tersebut masuk kategori salah satu dari beberapa industri
yang tidak mempunyai alat pengolah limbah (“waste water treatment”) yang memenuhi syarat.
Sungai
Porong, yang airnya biasa dipakai untuk bahan baku air minum, untuk
mandi dan untuk cuci pakaian oleh penduduk Desa Bangun (sungai golongan
B), selama beberapa bulan pada waktu itu (sekitar 1990) telah mengalami
perubahan warna menjadi agak coklat tua dan permukaannya berbuih.
Sementara
itu beberapa sumur penduduk di sekitar lokasi pabrik dilaporkan
mengalami keadaan serupa, airnya menjadi tak dapat diminum, karena
warnya telah berubah menjadi keruh berbuih, kecoklatan dan berbau busuk.
Kesehatan penduduk di desa tersebut dikhawatirkan memburuk.
Dari hasil observasi di lapangan, ternyata dapat ditemukan keadaan-keadaan yang terasa kontroversial, sebagai berikut :
-
Pertama-tama
sejak beroperasinya pabrik kertas tersebut, tanah sawah penduduk
sekitar yang sebelumnya hanya dapat ditanami padi satu kali satu tahun
(tanah sawah tadah hujan), karena memperoleh air eks buangan limbah,
kemudian dapat ditanami tiga kali setahun ; pernah kejadian penduduk
justru menuntut Bupati KDH Kabupaten Mojokerto untuk membuka
saluran-saluran limbah yang menuju tanah-tanah sawah mereka yang sempat
ditutup dalam rangka penyidikan kasus pencemaran PT. PA ini oleh Pihak
Kepolisian;
-
Kerak
limbah yang mengapung di lahan lagoon diambil secara bebas oleh
penduduk sekitar untuk dijual ke luar sebagai briket-briket yang
mempunyai nilai ekonomis (Rp., 15.000,- per truk Colt) untuk bahan
bakar batu bata, genteng dan lain-lain;
-
Untuk
mengatasi keruhnya sumur-sumur penduduk akibat air limbah yang
merembes di tanah, perusahaan telah membangunkan sistem pengadaan air
bersih, dengan cara menggali beberapa sumur bor (“deep well”),
yang airnya kemudian disalurkan dengan pipa ke rumah-rumah penduduk
sekitar yang letak dekat implasemen dan membuat beberapa sumur pompa
tangan-tangan bagi kelompok-kelompok perumahan penduduk yang tidak
dipungut pembayaran baik untuk pemasangan kran maupun untuk pemakaian
air tiap bulannya.
Dari
data-data tersebut di atas nampak adanya kecenderungan, para korban
pencemaran industri telah didudukkan dalam keadaan ketergantungan
terhadap fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Pihak PT. PA.
Dalam rangka membahas “corporate victimization” dalam bukunya “Victimology”. Sandra Walklate melukiskan bahwa kebanyakan warga masyarakat sekitar, yang menjadi korban pencemaran industri (disebut victims dari “corporate crime”), tidak mungkin dapat memilih atau menarik diri untuk tidak menjadi korban pencemaran industri (“ecological vulnerable”).
Marjono Reksodiputro melukiskan,
para korban bukanlah tandingan yang imbang untuk menghadapi pengusaha
industri pencemar, yang mempunyai kekuasaan ekonomi (kadang-kadang
kekuasaan politik), yang pada kesempatan lain kekuasaan ini
disinggungnya menjadi salah satu handikap pengungkapan kasus pencemaran
lingkungan pada umumnya.
Karakteristik yang spesifik dari kegiatan industri PT. PA Mojokerto tersebut, dapat diidentifikasi sebagai berikut :
-
Pelaku pencemar berbentuk badan hukum (korporasi);
-
Pengusaha
yang perusahaannya melakukan kegiatan pencemaran, kebanyakan
mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, karena kekuasaan
ekonomi (terkadang kekuasaan politik) yang dimiliki ;
-
Pencemaran yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai “Kejahatan Ekonomi” (“economic crimes”), selalu dilakukan dengan kedok “legitimate economic activities”, bukan dengan kekerasan fisik sepertikejahatan (penodongan atau perampokan);
-
Korban
meliputi warga masyarakat luas, penduduk yang bermukim di sekitar
emplasmen industri, dalam suatu areal yang relatif luas, sehingga para
korban dapat dikategorikan sebagai “abstract victims” atau “collective victims”.
Dari
pembahasan di atas kiranya dapat dipahami bahwa viktimisasi tidak boleh
dipandang sebagai akibat dari tingkah laku pengusaha industri pencemar
semata-mata. Viktimisasi yang menimpa para warga masyarakat yang menjadi
korban pencemaran industri bersifat struktural, bukan bersifat
individual, nampak dari sifat kapitalistiknya masyarakat industri, yang
lebih mengutamakan perhitungan keuntungan atau tuntutan perhitungan
ekonomi, dari pada mengutamakan kesehatan atau peraturan-peraturan
keselamatan.
Warga
masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan berada dalam keadaan
menerima lingkungan hidupnya yang rusak atau tercemar tersebut sebagai
musibah dan tidak merasa perlu menyalahkan siapa-siapa.
Bagi
pihak pengusaha industri kebutuhan untuk memperoleh keuntungan nampak
memainkan bagian penting pada perusakan atau pencemaran lingkungan,
sementara bagi pihak warga masyarakat yang menjadi korban alih-alih
ingin memperoleh keinginan penghasilan dan keuntungan
sebanyak-banyaknya, mereka mau berbuat apa saja (seperti yang terjadi
dalam kasus PT. PA Mojokerto, warga masyarakat sekitar sendiri bahkan
menuntut agar air limbah dialirkan ke lahan-lahan pertaniannya. Mungkin
karena keadaan warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan
miskin, nampak akan ada kecenderungan selalu terjadi kolusi dengan pihak
pengusaha industri untuk tidak menghiraukan kesehatan dan peraturan
keselamatan.
Semua
perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan dampak yang negatif terhadap
keselamatan jiwa dan kesejahteraan hidup manusia merupakan malapetaka,
sementara pihak pengusaha industri pencemar kebanyakan tidak pernah
merasa dirinya sebagai “pelaku kejahatan”.
Tujuan
pemidanaan yang dirumuskan dalam Pasal 51 (baru) Rancangan KUHP baru
pada pokoknya menekankan pengayoman masyarakat, pembinaan, menyelesaikan
konflik dan membebaskan terpidana dari rasa bersalah, kiranya konform
dengan kecenderungan universal Marc Ancel dengan “aliran defense sociale nouvelle”
(perlindungan masyarakat yang baru), yang memandang tercelanya
perbuatan diukur dari berbahayanya si pembuat terhadap masyarakat dengan
melihat perbuatannya (anti socialitat), dan perlunya terhadap pembuat diperlakukan individualisasi pidana dan resosialisasi atau pemasyarakatan kembali.
Dalam
Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No. 4.1982), pada bagian penjelasan
A. Umum, dirumuskan hekakat Lingkungan Hidup Indonesia, sebagai berikut :
Lingkungan
Hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada
Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari padaNya dan wajib
dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat menajdi sumber dan
penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya,
demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Apabila
kita kembalikan keseluruhan kebijaksanaan penyelesaian masalah
lingkungan ini pada Pembukaan UUD 1945, pada alinea IV, yaitu pada
wawasan lingkungan yang merumuskan tugas kewajiban Negara dan Pemerintah
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia demi kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh umat
manusia di dunia, maka perlindungan hukum bagi warga masyarakat kecil
yang menjadi kroban pencemaran industri, kiranya akan selalu
berlandaskan pada pandangan hidup untuk mendahulukan kepentingan rakyat
banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Sikap
pengusaha industri pencemar yang lebih mengutamakan perhitungan
keuntungan tanpa menghiraukan kesehatan dan peraturan lingkungan,
merupakan pelanggaran terhadap hak atau kepentingan hukum orang per
orang, atau dengan perkataan lain sudah merupakan serangan terhadap
masyarakat, oleh karena itu seyogyanya negara bertindak, reaksi terhadap
pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh negara melalui badan penegak
hukum.
J.E. Sahetapy, dengan tajam bahkan menggambarkan para pengusaha industri pencemar sebagai “penjahat siluman” atau “invisible criminal,” sedangkan para korban pencemaran industri sebagai “korban yang tidak kelihatan” atau invisible victim”.
D. Penutup
Setelah
dilakukan peninjauan terhadap peranan hukum pidana sebagaimana
dirumuskan dalam Rancangan KUHP baru, secara utuh menyeluruh dari
berbagai aspek sosial, budaya dan struktural masyarakat, maka dapat
disimpulkan perspektif hukum pidana baru tersebut, sebagai berikut :
-
Aspek korban diperhatikan dalam rangka penjatuhan pidana, yakni pencantuman ganti kerugian sebagai pidana tambahan;
-
Pidana
penjara atau pidana denda disertai dengan pengenaan kewajiban
membayar ganti kerugian, akan memulihkan keseimbangan hidup
bermasyarakat ke keadaan semula, lahir maupun batin dan mendatangkan
rasa damai dalam masyarakat ;
-
Reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh Negara melalui Badan Penegak Hukum.
Dengan demikian, sementara dapat direkomendasikan, agar pada kasus-kasus pencemaran industri yang cukup “serious” (yang menimbulkan malapetaka, “disaster”,
dan motif kegiatan pengusaha industri semata-mata demi mengejar
keuntungan, tanpa memperhitungkan kesehatan dan keselamatan jiwa warga
masyarakat penduduk sekitar), kiranya pertama-tama langkah yang harus
diambil oleh penegak hukum adalah, secara tegas segera mengambil alih
reaksi terhadap pengusaha industri pencemar, si pelaku delik, dengan
melakukan penuntutan pidana agar kegiatan-kegiatan yang merusak atau
mencemarkan lingkungan dihentikan dengan menjatuhkan sanksi-sanksi.
Langkah berikutnya, dengan menatap masa depan, adalah menerapkan pidana
tambahan dalam rangka mengemplimentasikan perlindungan hukum bagi korban
pencemaran industri yang kebanyakan merupakan masalah yang tentunya
mengharapkan dapat memperoleh ganti kerugian dari pengusaha industri
pencemar.
Kebijaksanaan
penuntutan dimaksud merupakan suatu kebijaksanaan penegakan hukum
lingkungan kepidanaan yang inovatif, yang dapat memberikan perlindungan
hukum kepada korban pencemaran industri, konform dengan pencantuman
sebagai pidana tambahan dalam rancangan KUHP Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Andojo Soetjipto, 1991. Hukum Pidna dan Hukum Acara Pidana. Pelatihan Tehnis Yustisial hakim Militer. Batu Malang
0 komentar: